Pulau Pari Gugat PTUN: Ekosistem Laut Rusak, Warga Lawan!

Top Indo Apps – , Jakarta – Warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, mengambil langkah hukum signifikan dengan mendaftarkan gugatan lingkungan hidup terhadap Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diterbitkan oleh pemerintah. Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mencerminkan tekad masyarakat untuk mempertahankan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan penghidupan mereka.
“Gugatan ini kami daftarkan sebagai upaya perlawanan warga Pulau Pari untuk membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berupa PKKPRL yang diterbitkan oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi di Gugus Lempeng, Pulau Pari, Kepulauan Seribu,” ujar Kuasa Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Khaerul Anwar, dalam rilis pers pada Jumat, 13 Juni 2025. Pernyataan ini menegaskan fokus gugatan pada pembatalan izin yang dinilai merugikan lingkungan dan masyarakat.
Duduk Perkara Gugatan
Sebagai informasi, PKKPRL adalah izin penting yang dikeluarkan pemerintah untuk pemanfaatan ruang laut. Objek gugatan dalam kasus ini adalah PKKPRL bernomor 12072410513100013, yang semula diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kini dijabat oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM. Inti gugatan ini didasari kekhawatiran mendalam masyarakat setempat terhadap aktivitas pengerukan pasir laut dangkal yang dilakukan oleh PT Central Pondok Sejahtera (PT CPS).
PT CPS dilaporkan mengeruk pasir di Pulau Pari menggunakan ekskavator, dengan tujuan pembangunan fasilitas pariwisata berupa penginapan atau vila terapung. Aktivitas yang berlandaskan izin PKKPRL ini memicu ketakutan warga akan potensi kerusakan ekosistem pesisir yang parah, termasuk degradasi padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang di perairan sekitar Pulau Pari. Atik Sukamti, salah satu warga Pulau Pari yang menjadi penggugat, menjelaskan bahwa PKKPRL ini dapat membawa dampak negatif serius bagi mereka, terutama para nelayan yang sangat bergantung pada kelimpahan laut sebagai sumber mata pencarian utama mereka.
Suara Warga Pulau Pari
Atik Sukamti lebih lanjut menekankan betapa pentingnya keberadaan mangrove dalam menahan arus ombak, yang secara krusial berfungsi mencegah abrasi parah di pesisir pulau. Selain itu, Atik juga menyuarakan protes terhadap proyek tempat penginapan terapung yang kini sedang digarap oleh PT CPS di Pulau Pari. “Apabila jadi dibangun juga di wilayah tersebut vila terapung, maka perekonomian warga akan terganggu akibat penginapan yang dimiliki oleh warga sekitar akan bersaing dengan vila terapung,” tuturnya, menyoroti ancaman persaingan tidak sehat yang dapat merugikan usaha penginapan milik warga.
Sengkarut Aktivitas PT CPS di Pulau Pari
Polemik aktivitas PT CPS di Pulau Pari telah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat lokal sejak awal 2025. Publik Jakarta sempat dihebohkan dengan berita perusakan mangrove oleh perusahaan swasta untuk pembangunan pondok wisata. Menindaklanjuti hal ini, penyelidikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap indikasi kerusakan mangrove dan reklamasi ilegal di Pulau Pari. Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri KKP, menyatakan bahwa temuan ini berasal dari peninjauan lapangan yang dilakukan Tim Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (Ditjen PKRL) KKP.
Sebelumnya, masyarakat Pulau Pari telah mengeluhkan kerusakan mangrove dan penimbunan pantai sejak November 2024. Mereka bahkan pernah menghadang alat berat yang digunakan perusahaan untuk menggusur mangrove dan menguruk pantai. Pada November 2024, PT CPS juga terbukti merusak ribuan pohon mangrove saat membangun pondok wisata di Pulau Biawak. Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono, menegaskan bahwa PT CPS diduga melakukan reklamasi tanpa izin di kawasan PKKPRL yang diterbitkan pada 12 Juli 2024. Padahal, izin tersebut seharusnya hanya diperuntukkan bagi pembangunan cottage apung dan dermaga wisata seluas 180 hektare.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR di Senayan, Jakarta, pada Kamis, 23 Januari 2025, Wahyu Trenggono secara tegas menyatakan bahwa kegiatan reklamasi yang dilakukan PT CPS di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, adalah tindakan ilegal. Ia mengklaim bahwa KKP tengah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menjatuhkan sanksi. “Rencana tindak lanjut mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi kepada PT CPS atas indikasi pelanggaran yang telah dilakukan,” ujar Trenggono. Hasil peninjauan lapangan KKP juga menemukan adanya aktivitas pengerukan menggunakan alat berat di area KKPRL yang merupakan ekosistem mangrove dan padang lamun dalam kondisi baik. Trenggono menambahkan, PT CPS juga membangun pondok wisata dengan reklamasi tanpa KKPRL, yang mengakibatkan alih fungsi ekosistem mangrove. Tindakan ini diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023. Berdasarkan aturan, semua kegiatan pemanfaatan ruang laut yang berlangsung lebih dari 30 hari wajib memiliki izin PKKPRL dari Menteri KKP. Tim Ditjen PKRL KKP sendiri telah aktif mengumpulkan bahan dan keterangan terkait kasus ini.
Tak hanya KKP, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga bertindak tegas dengan menyegel proyek pembangunan di Pulau Biawak setelah ditemukan pembabatan puluhan ribu pohon mangrove. Rizal Irawan, Deputi Penegakan Hukum Lingkungan KLH, menyatakan pihaknya akan mendalami laporan warga mengenai pembabatan mangrove serta kerusakan terumbu karang dan padang lamun. Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, bersama jajarannya telah bertemu langsung dengan warga Pulau Pari. Dalam pertemuan tersebut, warga melaporkan bahwa aktivitas pengerukan laut dangkal oleh PT CPS pada 17 Januari 2025 telah merusak sekitar 40 ribu pohon mangrove berusia tiga tahun yang mereka tanam. Selain itu, kerusakan juga terjadi pada 62 meter persegi ekosistem terumbu karang dan padang lamun di perairan tersebut.
Aspek Hukum dan Izin yang Dipertanyakan
Gugatan warga Pulau Pari secara khusus menyoroti dugaan cacat hukum dalam penerbitan PKKPRL. Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjelaskan bahwa lokasi yang direncanakan untuk pembangunan vila terapung dan dermaga pariwisata adalah ruang yang selama ini dikelola secara kolektif oleh warga Pulau Pari. “Kegiatan pembangunan cottage apung dan dermaga pariwisata dengan cara reklamasi jelas dilarang karena akan merusak terumbu karang serta mangrove,” tegas Susan, memperkuat argumen bahwa izin tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan ekosistem pesisir.
Nabiila Azzahra dan Dede Leni Mardiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: KKP Segel Proyek Reklamasi Ilegal PT CPS di Pulau Pari
Ringkasan
Warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu telah mengajukan gugatan lingkungan hidup ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk membatalkan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Gugatan ini dilayangkan akibat kekhawatiran atas aktivitas pengerukan pasir laut dangkal oleh PT Central Pondok Sejahtera (PT CPS) untuk pembangunan fasilitas pariwisata. Kegiatan tersebut dikhawatirkan merusak ekosistem pesisir vital seperti padang lamun, hutan mangrove, dan terumbu karang, serta berdampak negatif pada mata pencarian nelayan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menyelidiki dan menemukan indikasi kerusakan mangrove serta reklamasi ilegal oleh PT CPS. Menteri KKP menegaskan bahwa kegiatan reklamasi tersebut ilegal dan berencana menjatuhkan sanksi kepada perusahaan. Warga juga melaporkan telah terjadi kerusakan parah pada puluhan ribu pohon mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Gugatan ini secara khusus menyoroti dugaan cacat hukum dalam penerbitan PKKPRL tersebut, yang dinilai merugikan lingkungan dan keberlanjutan hidup masyarakat.