Politics

Borok Pejabat di Luar Negeri: Staf KBRI Bongkar Minta Fasilitas Pribadi!

Skandal dugaan penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat tinggi dan keluarga mereka di perwakilan diplomatik Indonesia kembali mencuat, membuka borok praktik yang telah “berlangsung bertahun-tahun”. Sejumlah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di berbagai negara mengungkapkan adanya tuntutan “pelayanan khusus” bagi keluarga pejabat, bahkan ketika mereka tidak dalam tugas kedinasan. Pengakuan ini muncul setelah terkuaknya surat permintaan fasilitas dari seorang pejabat menteri kepada KBRI dan KJRI untuk mendampingi istrinya dalam sebuah acara, memicu kemarahan publik yang meluas.

BBC News Indonesia telah mengumpulkan pengakuan dari para staf perwakilan Indonesia di luar negeri, yang meminta identitas mereka dirahasiakan demi keamanan. Mereka berbagi pengalaman tentang keharusan melayani pejabat atau anggota keluarga mereka, sebuah praktik yang ironisnya dianggap “normal” setelah bertahun-tahun berkecimpung di lingkungan tersebut. Para staf merasa terikat oleh perintah, menjalankan tugas meski kegiatan yang diminta bukan urusan kenegaraan atau kedinasan.

“Kami kan abdi negara yang diharapkan dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia,” ujar salah satu staf, menjelaskan bahwa mereka merasa wajib memenuhi setiap permintaan. “Apapun permintaannya, kami jalani dengan sepenuh hati. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperhatikan oleh Perwakilan RI di luar negeri.”

Ironisnya, staf lain mengungkap bahwa para pejabat yang melakukan tugas negara seringkali membawa serta keluarganya. Saat pejabat sibuk dengan urusan dinas, keluarga mereka akan didampingi oleh persatuan dharma wanita untuk berjalan-jalan atau berbelanja. Bahkan setelah tugas selesai, pejabat itu sendiri tak jarang diajak jalan-jalan dan makan malam. Yang lebih memprihatinkan, ada pula pejabat yang sama sekali tidak memiliki agenda dinas atau tugas negara, namun tetap memanfaatkan fasilitas KBRI.

Para staf “dipakai” jasanya bahkan di luar jam kerja resmi, seperti menemani dinner atau diajak jalan-jalan dan berbelanja pada akhir pekan. Kendaraan resmi KBRI pun kerap digunakan, mengingat sulitnya mereka menyewa mobil di negara setempat. Praktik ini menunjukkan bagaimana fasilitas negara disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, jauh melenceng dari fungsi utamanya.

Sorotan publik memuncak pada Kamis (03/07) lalu, ketika sebuah surat resmi berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi viral di media sosial. Surat tersebut, bernomor B-466/SM.UMKM/PR.01/2025, berisi permintaan kepada enam kedutaan besar dan satu konsulat jenderal untuk mendampingi istri Menteri UMKM, Agustina Hastarini. Keterangan surat menyebutkan bahwa Agustina Hastarini akan melakukan “kegiatan misi budaya” di sejumlah kota di Eropa, termasuk Istanbul, Turki; Pomorie dan Sofia, Bulgaria; Brussels, Belgia; Paris, Prancis; Lucerne, Swiss; dan Milan, Italia.

Kontroversi muncul karena surat bertanggal 30 Juni 2025 itu diterbitkan untuk kunjungan yang dilakukan oleh istri seorang menteri, yang notabene bukan pejabat publik dan tidak sedang menjalankan tugas kedinasan atau tugas negara. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menegaskan bahwa perwakilan Indonesia di luar negeri hanya siap memfasilitasi dan mendukung kunjungan pejabat jika dalam rangka tugas resmi kedinasan atau kenegaraan.

Dari perspektif hukum, insiden ini jelas bermasalah. Ahli hukum administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, menyatakan penggunaan kop surat kementerian atau lembaga negara untuk kepentingan di luar tugas resmi adalah keliru dan dilarang keras dari sisi administrasi pemerintahan. “Secara hukum administrasi, tidak ada yang bisa membenarkan itu,” tegas Oce.

Senada, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan bahwa kop surat kementerian atau lembaga negara bukan sekadar simbol, melainkan memiliki bobot instruksi. Hal inilah yang secara tidak langsung memaksa staf perwakilan untuk mematuhi dan menjalankan permintaan yang tertulis dalam surat tersebut, meskipun kegiatan yang dimaksud tidak berkaitan dengan tugas resmi kedinasan.

Menanggapi kehebohan yang terjadi, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman, memberikan klarifikasi setelah mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (04/07). Seperti dilansir dari Tempo, Menteri Maman membantah keras tuduhan tersebut, menyatakan tidak pernah memerintahkan jajarannya untuk membuat surat permintaan fasilitas.

Menurut penjelasannya, kepergian sang istri adalah untuk menemani anak mereka yang mengikuti misi budaya sekolah di Eropa. Ia menegaskan bahwa selama perjalanan, istri dan anaknya tidak menggunakan fasilitas negara dan seluruh biaya, mulai dari tiket pesawat, akomodasi, transportasi, hingga sopir, telah dibayarkan penuh melalui rekening pribadi sang istri. Bahkan, persiapan perjalanan sudah dilakukan jauh sebelum keberangkatan, dan istri serta anaknya disebut sudah tiba di negara tujuan pertama sejak 29 Juni 2025, sehari sebelum tanggal surat kontroversial tersebut.

Namun, bantahan ini tidak meredakan kritik dari para ahli. Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, membagikan pengalamannya pribadi saat menyaksikan staf KBRI di luar negeri sibuk mengurus belanjaan pejabat di factory outlet. “Mereka belanja seenak-enaknya dimasukin koper. Yang tukang geret, tukang cariin restoran pegawai kementerian yang jadi kayak pelayan,” kisahnya.

Bivitri kembali menegaskan bahwa penggunaan kop surat kementerian atau lembaga negara jauh lebih dari sekadar logo; ia mengandung nilai instruksi. “Mereka enggak bisa berdalih ini sebenarnya cuma pemberitahuan aja seperti fyi gitu. Karena penggunaan kop surat itu sebenarnya sudah mengandung perintah kalau kita bicara lembaga pemerintahan,” ujarnya. Lebih jauh, ia menyoroti bahwa budaya feodalisme yang masih mengakar kuat di kalangan pejabat dan aparatur sipil negara menjadi penyebab berulangnya praktik semacam ini. Surat resmi semacam ini dianggap sebagai ‘katebelece’ atau perintah tidak langsung yang memanfaatkan jabatan untuk memperoleh fasilitas tertentu.

Ironisnya, alasan Menteri UMKM yang mengaku tidak pernah meminta pembuatan surat justru dinilai Bivitri dapat semakin mempertebal budaya feodalisme. “Di negara kita, ada juga kebiasaan bawahan ini semacam ingin memberikan servis,” tambahnya. Ahli hukum administrasi negara UGM, Oce Madril, juga memperkuat pandangan bahwa penggunaan surat berkop kementerian untuk kepentingan di luar tugas negara adalah tindakan keliru dan dilarang secara administrasi pemerintahan.

Fenomena ini bukan hal baru. Sebelumnya, kasus serupa melibatkan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto yang menyalahgunakan kop surat kementerian untuk acara keluarga. Pada tahun 2016, Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga pernah melayangkan surat berkop Sekretariat Jenderal DPR untuk meminta penjemputan dan pendampingan anaknya di AS. Di tahun yang sama, anggota DPR Rachel Maryam juga mengirimkan surat ke KBRI Paris untuk meminta jasa penjemputan dan transportasi bagi kunjungan pribadi keluarganya.

Lantas, apa sebenarnya tugas pokok dan fungsi Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri? Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menjelaskan bahwa pada dasarnya KBRI dan KJRI bertugas melaksanakan hubungan diplomatik dan memperjuangkan kepentingan nasional. Ini termasuk fungsi utama seperti memberikan perlindungan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, termasuk bantuan hukum dan kekonsuleran.

Aturan mengenai tugas pokok dan fungsi Perwakilan RI diatur secara gamblang dalam Peraturan Presiden Nomor 150 Tahun 2024 tentang Kementerian Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 6 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan di Luar Negeri. Mengacu pada regulasi tersebut, tugas pokok Perwakilan RI meliputi:

  • melaksanakan hubungan diplomatik;
  • memperjuangkan kepentingan nasional Negara Republik Indonesia; dan
  • melindungi warga negara Indonesia.

Adapun fungsi Perwakilan RI mencakup beragam aspek, antara lain:

  • peningkatan dan pengembangan kerja sama politik, keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya;
  • peningkatan persatuan, kesatuan, dan kerukunan antar sesama warga negara Indonesia di luar negeri;
  • pengayoman, pelayanan, perlindungan, serta pemberian bantuan hukum dan fisik kepada warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia jika terjadi ancaman atau masalah hukum sesuai ketentuan yang berlaku;
  • pengamatan, penilaian, dan pelaporan mengenai situasi dan kondisi negara setempat;
  • fungsi konsuler dan protokol;
  • perbuatan hukum atas nama Negara dan Pemerintah RI dengan pemerintah negara setempat;
  • kegiatan manajemen kepegawaian, keuangan, perlengkapan, pengamanan internal Perwakilan, komunikasi, dan persandian; serta
  • fungsi lain sesuai hukum dan praktik internasional.

Rolliansyah menambahkan bahwa perwakilan RI memang siap memfasilitasi dan memberikan dukungan bagi kunjungan pejabat, namun dengan catatan: harus dalam rangka tugas resmi kedinasan atau kenegaraan. Bantuan yang diberikan pun, menurutnya, harus disesuaikan dengan kebutuhan kedinasan dan berada dalam koridor kewajaran sesuai ketentuan yang berlaku. Tujuannya adalah untuk memastikan tugas-tugas tersebut terlaksana dengan baik dan memberikan manfaat optimal bagi Indonesia.

Ahli hukum administrasi negara dari UGM, Oce Madril, juga memahami bahwa pelayanan kepada warga negara adalah bagian dari tugas perwakilan luar negeri, namun ini memiliki batasan yang wajar. Misalnya, memfasilitasi pertemuan dengan stakeholder asing, kerja sama pendidikan antarnegara, atau pertemuan pengusaha dalam konteks peningkatan kerja sama ekonomi. Namun, Oce menegaskan, “kalau kemudian menemani ke tempat wisata, itu sudah jadi tour guide. Menemani belanja dan mengantar ke sana kemari 24 jam, itu sudah pasti memberatkan. Dari sumber daya manusia pasti akan tersita, juga dari sisi anggarannya, dan pasti akan menelantarkan atau mengganggu fungsi lain di KBRI.” Ini menyoroti perbedaan krusial antara dukungan dinas dan pelayanan pribadi.

Persoalan lain yang tak kalah krusial adalah dari mana anggaran untuk membiayai fasilitas yang diminta pejabat dan keluarganya. Seorang staf KBRI menceritakan praktik yang sering dilakukan: ketika pejabat datang bersama keluarga, perwakilan akan mengakali pengeluaran anggaran seolah-olah bukan untuk kegiatan pribadi mereka.

Solusinya? KBRI kerap mengadakan “acara khusus” yang diberi judul ‘jamuan’ atau ‘sosialisasi’. Ini dilakukan agar laporan penggunaan anggaran terlihat sah sebagai kegiatan rutin KBRI, padahal sesungguhnya dialokasikan “demi menjamu pejabat,” ungkap staf tersebut. Anggaran KBRI sejatinya telah diatur ketat berdasarkan fungsinya, seperti ekonomi, politik, penerangan, sosial, budaya (pensosbud), hingga konsuler. Dana untuk jamuan pribadi ini terkadang ditarik dari pos-pos fungsi tersebut, membebani anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan negara.

Lebih jauh, seringkali pejabat dan keluarga yang tidak sedang dalam tugas resmi tetap meminta fasilitas dari KBRI, bahkan sampai meminta akomodasi dan makanan dibayarkan. Meskipun ada beberapa yang memilih menginap di wisma duta besar atau wisma tamu, inti masalahnya adalah “perlakuan khusus buat mereka kadang di luar tupoksi dan sampai pakai anggaran KBRI demi membuat jamuan seolah itu kegiatan KBRI padahal cuma buat menjamu mereka. Mereka menganggap dirinya tamu KBRI, jadi ya harus dilayani sebagai tamu,” jelas staf itu.

Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, turut menyoroti celah anggaran ini. Di tengah seruan efisiensi anggaran negara, meminta pelayanan dari sesama lembaga negara di luar tugas kedinasan dinilai tidak etis dan tidak layak. Setiap lembaga memiliki pos anggaran yang dialokasikan khusus untuk mengoptimalkan tugas pokok dan fungsinya. Bivitri menyebut “dana taktis” yang semestinya digunakan untuk kepentingan operasional, bukan untuk melayani kepentingan pribadi pejabat. “Kebiasaan buruk ini enggak boleh terjadi lagi,” tegasnya.

Untuk mengatasi praktik penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara yang sudah mengakar ini, para ahli hukum menyarankan solusi konkret. Ahli hukum administrasi negara, Oce Madril, mengingatkan bahwa undang-undang administrasi pemerintahan sudah memuat larangan penyalahgunaan jabatan dan benturan konflik kepentingan. Namun, ia menekankan bahwa solusinya harus bersifat top down, dimulai dari kesadaran para pejabat itu sendiri.

“Butuh kesadaran dari mereka yang jadi pejabat untuk tidak lagi mencari peluang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Kalau masih mencari peluang, berarti dia belum selesai dan tidak cocok dalam posisi pejabat negara,” jelas Oce. Ia mengakui kesulitan dalam menegakkan hukum terhadap pejabat tinggi karena kelemahan sistem pengawasan birokrasi saat berhadapan dengan menteri atau istrinya.

Maka dari itu, Oce Madril menyerukan agar Presiden turun tangan langsung. Presiden dapat mengeluarkan prosedur standar operasi (SOP) yang jelas disertai panduan, serta memberikan teguran keras. Mengingat permintaan fasilitas melalui surat resmi adalah bentuk penyalahgunaan jabatan, intervensi dari pucuk pimpinan negara menjadi krusial.

Sejalan dengan itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyatakan, “berat berharap pada moralitas pejabat.” Ia menegaskan bahwa pemerintah harus menunjukkan komitmen tegas untuk memberantas praktik semacam ini agar tidak terulang. Selain teguran atau peringatan, Presiden perlu mengeluarkan instruksi dalam rapat kabinet agar tidak ada lagi pejabat yang meminta fasilitas pribadi.

Bivitri juga mengusulkan adanya instruksi presiden (Inpres) atau surat edaran resmi yang memberikan kewenangan penuh kepada Menteri Luar Negeri dan jajarannya untuk secara tegas menolak permintaan fasilitas dari pejabat negara dan keluarga di luar tugas kedinasan. “Tidak hanya verbal di rapat, perlu bikin aturan bisa Inpres untuk seluruh jajaran kementerian agar tidak meminta fasilitas dan memerintahkan Kementerian Luar Negeri dan jajarannya untuk menolak permintaan fasilitas di luar tugas negara. Nanti dasar hukumnya jelas,” pungkas Bivitri, menekankan pentingnya landasan hukum yang kuat untuk menghentikan kebiasaan buruk ini.

Baca juga:

  • Menelusuri jejak feodalisme di Indonesia – Dari zaman Kerajaan Mataram hingga era pemerintahan Prabowo
  • Sederet kontroversi menteri-menteri dan pembantu Prabowo – Mulai dari pelanggaran HAM berat, kop surat dan anggaran Rp20 T
  • Fadli Zon minta maaf dan akan ganti uang bensin penjemputan putrinya
  • #TrenSosial: KBRI Paris benarkan ada permintaan dari Rachel Maryam
  • Kasus SYL: Penyalahgunaan dana operasi menteri dan pemerasan bawahan menjadi ‘rahasia umum’ – Mengapa anak buah memilih bungkam?

Ringkasan

Skandal penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat tinggi dan keluarga di perwakilan diplomatik Indonesia telah berlangsung bertahun-tahun. Staf KBRI dan KJRI mengungkap tuntutan layanan pribadi di luar tugas dinas, termasuk penggunaan kendaraan dan waktu di luar jam kerja. Hal ini mencuat kembali setelah surat permintaan fasilitas untuk istri Menteri UMKM beredar viral, memicu kemarahan publik.

Para ahli hukum menilai penggunaan kop surat kementerian untuk kepentingan non-dinas adalah salah dan dilarang, serta merupakan bentuk perintah tidak langsung. Meskipun Menteri UMKM membantah dan menyatakan biaya ditanggung pribadi, praktik ini dinilai mencerminkan budaya feodalisme dan penyalahgunaan anggaran. Untuk mengatasi ini, disarankan Presiden turun tangan dengan SOP dan instruksi tegas agar perwakilan RI dapat menolak permintaan fasilitas di luar tugas resmi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button