Entertainment

Hollywood Obsesi Remake Film Asing: Untung atau Sekadar Cari Aman?

Kabar perilisan serial Squid Game versi Amerika Serikat saat ini tengah meramaikan jagat media massa. Sebuah berita yang menarik perhatian, namun sesungguhnya tidak begitu mengejutkan. Ini bukanlah kali pertama Hollywood menggarap ulang atau remake film asing. Dengan kecerdikan, mereka senantiasa memilih karya-karya yang telah terbukti sukses di pasaran global untuk diadaptasi ke dalam versi berbahasa Inggris.

Proses adaptasi ini tak jarang melibatkan aktor-aktor ternama dan didukung oleh strategi pemasaran yang masif. Sebut saja Let Me In (2010), Funny Games (2007), The Guilty (2021), A Man Called Otto (2022), hingga Speak No Evil (2024) sebagai beberapa contohnya. Meskipun ada yang berhasil menyamai atau bahkan melampaui kesuksesan versi orisinalnya, tidak sedikit pula yang berakhir kurang memuaskan.

Namun, agaknya Hollywood tak mengenal kata kapok dalam urusan remake film asing ini. Lantas, mengapa bisnis adaptasi film asing ini terus-menerus dipandang sebagai prospek yang sangat menjanjikan bagi Hollywood? Berikut adalah beberapa alasan mendasar yang mungkin melatarinya.

1. Remake Adalah Cara Instan untuk Meraih Penonton

Film-film asing yang telah memiliki basis penggemar setia, bahkan pemuja, diharapkan mampu menggaet penonton secara instan untuk versi remake-nya. Logika ini mudah diterima akal dan memang telah terbukti beberapa kali. Speak No Evil (2024), The Guilty (2021), dan A Man Called Otto (2022) adalah contoh nyata kesuksesan ini. Didukung oleh pemilihan aktor kelas atas seperti James McAvoy, Jake Gyllenhaal, dan Tom Hanks, serta pemasaran yang gencar, mereka berhasil mengikuti jejak kesuksesan film aslinya.

Di satu sisi, remake film dapat dipandang sebagai strategi untuk meminimalisir risiko kerugian besar dalam produksi film. Namun, di sisi lain, praktik ini juga kerap dianggap sebagai bentuk kemalasan dan absennya kreativitas. Rumah produksi besar Hollywood yang rutin melakukan adaptasi seolah kehabisan ide segar, dan akhirnya memilih jalur instan ini untuk menjaga produktivitas serta meraup profit maksimal.

2. Misi Amerikanisasi Konten Budaya

Meskipun demikian, selalu ada audiens yang merasa kecewa dan kurang menyukai adaptasi ini, terutama mereka yang telah menyaksikan versi asli film-film asing tersebut. Perubahan minor pada alur cerita seringkali terjadi, namun Hollywood dikenal memiliki kecenderungan untuk menciptakan akhir yang lebih bahagia atau setidaknya melegakan. Hal ini terlihat jelas pada Speak No Evil dan The Guilty versi Amerika. Bandingkan dengan film-film asing dari Eropa dan Asia yang tak ragu mengakhiri ceritanya dengan resolusi yang jauh lebih mengganggu atau tragis.

Fenomena ini bisa disebut sebagai upaya Amerikanisasi produk budaya, yang bertujuan untuk mengakomodasi selera audiens di Amerika Serikat. Ironisnya, proses Amerikanisasi inilah yang pada akhirnya membuat film-film produksi Hollywood terkesan homogen dan mudah ditebak. Kritik juga bermunculan karena banyaknya upaya apropriasi budaya yang terasa tidak pas dan justru menjadi aneh. Hal ini pernah terjadi pada beberapa remake film Jepang, seperti The Grudge (2020) dan Godzilla (1998). Demikian pula dengan remake film horor Austria Goodnight Mommy yang dirilis pada tahun 2022 lalu, menuai respons serupa.

3. Memperkenalkan Karya Sinematik Brilian ke Khalayak Luas

Remake juga seringkali dikritik karena dianggap menghilangkan esensi keseruan menonton film tanpa terdistraksi oleh nama besar aktor. Seperti kita ketahui, dalam beberapa kasus, ketiadaan nama besar dalam sebuah film justru dapat menciptakan efek natural dan membuat penonton lebih fokus pada kualitas cerita. Namun, sebagai rumah produksi yang berpegang pada prinsip bisnis, keinginan untuk memperkenalkan naskah brilian ke khalayak yang lebih luas tidak dapat dipungkiri. Lagipula, tidak semua film asing dapat diakses secara luas layaknya film produksi Hollywood.

Ambil contoh Funny Games (1997) karya Michael Haneke, yang akhirnya dibuat versi Hollywood-nya satu dekade kemudian. Aktor kawakan Naomi Watts dan Tim Roth didapuk sebagai protagonis, diadu dengan aktor muda Brady Corbet dan Michael Pitt sebagai antagonis. Berbeda dari kebanyakan remake Hollywood, Haneke tidak mengubah naskah aslinya sama sekali. Tiap adegan dibuat sama persis, dan akhir yang tragis tetap dipertahankan. Absennya upaya Amerikanisasi dalam remake film sukses ini justru menuai pujian penonton. Mereka menganggap inilah remake yang seharusnya, semata-mata ditujukan untuk menggaet lebih banyak audiens yang mungkin kesulitan mengakses versi asli atau enggan menonton dengan takarir.

Terlepas dari keberhasilan maupun kegagalan beberapa upaya remake yang telah mereka lakukan sejauh ini, kebiasaan Hollywood yang satu ini rasanya akan sulit dihentikan. Pasarnya terlalu besar untuk tidak dimanfaatkan. Rasa penasaran penonton dan aksesibilitas luas yang dimiliki oleh rumah produksi mayor Hollywood adalah modal utama yang akan membuat bisnis remake terus bertahan.

5 Anime Klasik yang Layak Mendapatkan Remake, Kamu Setuju?

Ringkasan

Hollywood sering kali mengadaptasi atau me-remake film asing yang telah sukses secara global, seperti rencana *Squid Game* versi AS dan contoh lain seperti *Let Me In* atau *A Man Called Otto*. Praktik ini dianggap sebagai cara instan untuk meraih penonton, memanfaatkan basis penggemar film asli, meminimalkan risiko, serta didukung oleh pemilihan aktor ternama dan pemasaran masif.

Selain itu, remake bertujuan mengakomodasi selera audiens di Amerika Serikat melalui “Amerikanisasi” konten, yang terkadang mengubah alur atau akhir cerita. Meskipun kerap dikritik karena dianggap kurang kreativitas atau berpotensi apropriasi budaya, remake juga berfungsi memperkenalkan karya sinematik brilian ke khalayak luas yang mungkin kesulitan mengakses film asing. Hollywood diperkirakan akan terus melakukan remake karena pasar yang besar dan aksesibilitas luas yang dimilikinya.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button