Rumah Subsidi 18 Meter: Hashim Djojohadikusumo Belum Beri Lampu Hijau?

Top Indo Apps – , Jakarta – Wacana pembatasan ukuran rumah subsidi menjadi 18 meter persegi masih dalam tahap pengkajian mendalam. Demikian ditegaskan oleh Hashim Djojohadikusumo, Ketua Satuan Tugas Perumahan, yang menyatakan bahwa keputusan tersebut belum final dan saat ini masih berupa gagasan awal.
“Saya kira luas rumah subsidi 18 meter itu masih dikaji. Saya baru diceritakan mengenai itu, ada gagasan itu,” ujar Hashim kepada awak media di Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025. Ia menambahkan bahwa secara umum, standar luasan hunian minimal yang ada saat ini berkisar 36 meter persegi. Oleh karena itu, perubahan luasan rumah subsidi ini tidak dapat diputuskan sepihak oleh pemerintah.
Hashim menjelaskan, pembahasan mengenai gagasan ini akan melibatkan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BTN sebagai penyalur Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). “Tapi umumnya nanti itu lebih standar, kurang lebih mungkin 40 meter persegi, ada yang 60 meter persegi, ada yang 36 meter persegi itu yang standar,” terangnya, menekankan pentingnya pertimbangan matang dalam penentuan standar hunian layak.
Rencana pembangunan rumah subsidi dengan luas bangunan 18 meter persegi ini sebelumnya diungkapkan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait. Ide ini muncul sebagai respons atas keterbatasan lahan yang kian mendesak di kawasan perkotaan. Dalam draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor/KPTS/M/2025, luas tanah direncanakan dikurangi menjadi minimal 25 meter persegi, dengan luas bangunan minimal 18 meter persegi.
Maruarar Sirait menyatakan bahwa draf aturan ini dirancang untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di wilayah perkotaan yang padat. Namun demikian, ia menegaskan bahwa keputusan terkait luasan rumah subsidi ini belum final. “Kami belum memutuskan apapun,” jelasnya, Selasa, 17 Juni 2025, mengindikasikan bahwa diskusi masih terus berlangsung.
Gagasan rumah tapak berukuran 18 meter persegi ini menuai kritik dari pakar tata kota. Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai bahwa ukuran tersebut tidak layak huni dan kurang manusiawi. Meskipun standar minimal ruang gerak per orang adalah 9 meter persegi, Yayat berpendapat bahwa pemerintah tidak seharusnya menjadikan batas minimal tersebut sebagai patokan utama dalam pembangunan hunian. “Tipe 18 meter persegi tidak memperhatikan aspek housing caring. Kurang manusiawi. Rumah bukan sekadar hitung rasional, tapi ruang kehidupan,” tegas Yayat, menyoroti dimensi sosial dan kualitas hidup.
Lebih lanjut, Yayat mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut dan lebih mengarahkan fokus pada pengembangan hunian vertikal. Ia menyarankan, jika masyarakat belum terbiasa tinggal di hunian vertikal, pemerintah perlu menyediakan insentif yang menarik agar konsep rumah susun lebih diminati. “Ini lebih manusiawi. Daripada menyiksa orang dengan keterbatasan, lebih baik diarahkan ke rumah susun,” pungkasnya, menawarkan solusi yang dianggap lebih berkelanjutan dan layak.
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Skema Penyelamatan BUMN Karya lewat Danantara
Ringkasan
Wacana pembatasan ukuran rumah subsidi menjadi 18 meter persegi masih dalam pengkajian mendalam. Ketua Satuan Tugas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, menegaskan ini baru gagasan awal dan belum final, mengingat standar luasan hunian saat ini umumnya 36 meter persegi atau lebih. Ide ini, yang diungkap Menteri Maruarar Sirait, bertujuan mengatasi keterbatasan lahan di perkotaan, meskipun drafnya belum diputuskan.
Gagasan rumah berukuran 18 meter persegi ini menuai kritik dari pakar tata kota, Yayat Supriatna. Ia menilai ukuran tersebut tidak layak huni dan kurang manusiawi, menegaskan bahwa rumah adalah ruang kehidupan, bukan sekadar perhitungan. Yayat mendesak pemerintah mengkaji ulang dan lebih mengarahkan fokus pada pengembangan hunian vertikal sebagai solusi yang lebih berkelanjutan.