Bali Darurat Sampah! 200 TPS Bermasalah, Ini Solusi Putri Koster

DENPASAR, KOMPAS.com – Upaya pengelolaan sampah di Bali menghadapi tantangan signifikan. Sebanyak 200 Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) di seluruh Pulau Dewata dilaporkan tidak berfungsi secara optimal, termasuk tiga fasilitas yang berlokasi di Denpasar. Kondisi ini menggarisbawahi urgensi penanganan masalah sampah yang berkelanjutan di destinasi pariwisata terkemuka ini.
Menyikapi kondisi tersebut, Putri Koster, yang menjabat sebagai Duta Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Palemahan Kedas (PSBS PADAS), menekankan pentingnya pembenahan pada Sumber Daya Manusia (SDM) serta perubahan fundamental dalam pola pikir masyarakat. “Percuma membuat tempat pengolahan yang bagus dengan peralatan canggih jika kebiasaan masyarakat belum berubah,” tegas Putri di Badung, Selasa (17/6/2025). Ia menambahkan, “Ubah dulu pola pikir kita, pilah dan kelola sampah organik,” sebagai langkah awal yang krusial.
Menurut Putri Koster, sistem pengelolaan sampah yang lazim diterapkan di hampir seluruh Indonesia, yaitu model “kumpul-angkut-buang” ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), adalah pendekatan yang keliru dan tidak berkelanjutan. Ia berharap pola ini dapat segera berakhir, terutama mengingat Bali telah ditetapkan sebagai proyek percontohan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam inisiatif pengelolaan sampah berbasis sumber.
Menanggapi saran di media sosial agar Bali meniru strategi pengelolaan sampah negara lain, termasuk penggunaan alat-alat canggih, Putri Koster menyatakan keberatan. Ia menegaskan bahwa tidak semua kebijakan asing dapat diterapkan di Bali. “Kita sudah memiliki pola yang sesuai dengan falsafah masyarakat Bali, yaitu Tri Hita Karana: Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Jadi, mengapa harus mengadopsi kebijakan lain?” serunya, menggarisbawahi kekuatan kearifan lokal.
Sistem pengelolaan sampah berbasis sumber ini, menurut Putri Koster, sangat selaras dengan nilai-nilai luhur Tri Hita Karana, khususnya aspek Palemahan yang menekankan harmoni dengan lingkungan. Pendekatan ini dinilai sebagai “langkah cepat” karena memungkinkan sampah organik diselesaikan langsung di tingkat sumber seperti rumah tangga, sekolah, tempat ibadah, hingga pasar. Dengan demikian, tidak perlu lagi menunggu proses pengolahan di TPS, mempercepat siklus penanganan sampah.
Di sisi lain, tantangan kompleks pengelolaan sampah juga diakui oleh Camat Kuta Selatan, Dr. I Ketut Gede Arta. Terlebih, Kuta Selatan merupakan wilayah pariwisata yang sibuk dan menjadi kawasan terluas kedua di Kabupaten Badung setelah Petang. Dengan populasi yang padat, volume sampah yang dihasilkan pun sangat besar. “Karena itu, kami telah meminta warga menyelesaikan sampah di masing-masing rumah, dan itu sudah berjalan dengan baik,” papar Dr. Arta, menunjukkan adanya inisiatif lokal yang menjanjikan dalam upaya mengatasi persoalan sampah di Bali.
Ringkasan
Bali menghadapi tantangan signifikan dalam pengelolaan sampah, ditandai dengan 200 Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) yang tidak berfungsi optimal. Menanggapi situasi ini, Putri Koster, Duta Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Palemahan Kedas, menekankan pentingnya pembenahan SDM dan perubahan pola pikir masyarakat untuk memilah sampah organik. Ia menganggap sistem “kumpul-angkut-buang” ke TPA sebagai pendekatan yang keliru, mendorong Bali menjadi percontohan pengelolaan sampah berbasis sumber.
Putri Koster menolak adopsi strategi pengelolaan sampah asing, menegaskan bahwa Bali telah memiliki falsafah Tri Hita Karana yang selaras dengan pengelolaan sampah berbasis sumber. Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian sampah organik langsung di tingkat sumber seperti rumah tangga, sejalan dengan nilai Tri Hita Karana khususnya aspek Palemahan. Camat Kuta Selatan, Dr. I Ketut Gede Arta, juga melaporkan bahwa warganya telah aktif mengelola sampah di rumah masing-masing sebagai bagian dari solusi lokal.