Polemik 4 Pulau Aceh-Sumut: DPR Desak Solusi Cepat, Isu Sensitif!

Polemik batas wilayah yang melibatkan empat pulau strategis antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) mendesak untuk segera dituntaskan. Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyerukan agar pemerintah tidak menunda penyelesaian masalah sensitif ini, mengingat implikasi historis dan potensi dampak yang lebih luas.
Doli menekankan bahwa isu ini amat krusial, terutama karena melibatkan Aceh, sebuah provinsi dengan sejarah panjang dan rumit dalam hubungannya dengan pemerintah pusat. Ia khawatir jika polemik ini dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut dapat ‘membuka luka lama’ dan menghambat upaya pemulihan hubungan yang telah terjalin. Selain itu, Doli turut menyoroti perhatian yang mulai diberikan oleh komunitas internasional terhadap sengketa batas pulau ini. Ia memperingatkan agar pemerintah berhati-hati, jangan sampai polemik ini menjadi pemicu munculnya isu-isu lama terkait aspirasi kemerdekaan yang telah lama mereda.
Doli dengan tegas menyatakan bahwa secara historis, sosial, dan hukum, keempat pulau yang dipersoalkan tersebut jelas berada dalam yurisdiksi Aceh. Ia merujuk pada kesepakatan tahun 1992 yang ditandatangani oleh dua gubernur pada masa itu, yang secara eksplisit mengukuhkan status pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh. Posisi ini, imbuhnya, diperkuat pula oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UPA), khususnya Pasal 246 yang secara gamblang menjelaskan batas wilayah dan menegaskan keempat pulau tersebut adalah bagian dari Aceh.
Menyikapi wacana revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UPA), Doli membenarkan bahwa isu ini telah masuk dalam agenda pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Ia menekankan perlunya dialog lanjutan yang lebih mendalam dan rinci dengan pemerintah untuk menentukan inisiatif revisi tersebut, seraya menyatakan dukungannya jika inisiatif datang dari pemerintah.
Senada dengan kekhawatiran yang ada, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra, Bahtra Banong, sebelumnya juga telah mendesak penundaan eksekusi Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Ia menyerukan agar keputusan tersebut tidak dilaksanakan sebelum adanya klarifikasi lapangan yang komprehensif. Kepmendagri yang kontroversial ini, ditetapkan pada 25 April 2025, berpotensi mengalihkan empat pulau yang secara historis dan hukum diklaim Aceh Singkil menjadi bagian dari wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pulau-pulau yang dimaksud adalah Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Polemik yang timbul akibat keputusan ini, seperti diungkapkan Bahtra pada Sabtu (14/6), menegaskan urgensi dilakukannya klarifikasi lapangan sebelum eksekusi lebih lanjut.
Ringkasan
Polemik batas wilayah empat pulau strategis antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara mendesak untuk segera dituntaskan. Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia dan Bahtra Banong, menekankan urgensi penyelesaian masalah sensitif ini, mengingat implikasi historis serta potensi dampak yang lebih luas, termasuk risiko ‘membuka luka lama’ di Aceh dan menarik perhatian komunitas internasional.
Secara historis dan hukum, keempat pulau—Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—diklaim sebagai bagian dari Aceh, didukung oleh kesepakatan tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Polemik ini diperparah oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang berpotensi mengalihkan pulau-pulau tersebut ke Tapanuli Tengah. Oleh karena itu, DPR mendesak penundaan eksekusi keputusan tersebut hingga klarifikasi lapangan yang komprehensif dilakukan.