Raja Ampat Memanas: Jerat Pidana Mengintai Kasus Tambang Nikel Ilegal!

MENTERI Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini, yang diumumkan pada Selasa, 10 Juni 2025, menargetkan PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Sementara itu, PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi, lantaran dinilai telah menerapkan tata kelola limbah yang baik dan sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).
“Arahan Bapak Presiden kami harus awasi betul lingkungannya. Sampai dengan sekarang kami berpandangan tetap akan bisa berjalan,” terang Bahlil dari Istana Kepresidenan, Jakarta. Kebijakan ini diambil setelah aktivitas tambang nikel Raja Ampat mendapat sorotan tajam dari publik dan organisasi lingkungan.
Sebelumnya, aktivitas penambangan di Raja Ampat memicu protes keras dari Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Mereka menuduh kegiatan tambang nikel di lima pulau kecil, termasuk Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele, melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Analisis yang dilakukan Greenpeace menunjukkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan telah mengalami kerusakan akibat penambangan. Sedimentasi dari aktivitas tersebut juga mengancam kelestarian terumbu karang dan kehidupan bawah laut yang kaya. Bahkan, sebuah video yang dirilis Greenpeace memperlihatkan adanya pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga kuat sebagai lokasi tambang aktif.
Anggota DPR: Pencabutan IUP Awal dari Penegakan Hukum
Anggota Komisi XII DPR, Nurwayah, menyambut baik langkah pemerintah dan mendesak adanya penindakan tegas pascapencabutan IUP nikel keempat perusahaan tersebut. Menurutnya, pencabutan izin bukanlah akhir dari proses, melainkan awal dari penegakan hukum yang komprehensif dan evaluasi menyeluruh terhadap praktik eksploitasi di kawasan sensitif tersebut. “Raja Ampat adalah kawasan pesisir dengan nilai ekologis luar biasa yang tidak tergantikan. Pelanggaran ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengingkari prinsip keadilan antargenerasi,” kata Nurwayah di Jakarta pada Rabu, 11 Juni 2025, seperti dikutip dari *Antara*.
Politikus Partai Demokrat ini menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan sebagai dasar pengelolaan sumber daya alam di wilayah krusial seperti Raja Ampat. Oleh karena itu, legislator yang membidangi lingkungan hidup ini memberikan dukungan penuh terhadap keputusan pencabutan IUP. Nurwayah juga mengingatkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 secara tegas melarang aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Ia menegaskan, pemerintah harus menunjukkan keberpihakan pada lingkungan dan masyarakat lokal. “Penegakan hukum dan moratorium izin baru di kawasan pesisir harus menjadi komitmen nasional,” tuturnya, seraya menambahkan bahwa perlindungan lingkungan hidup harus menjadi fondasi utama dalam setiap kebijakan pemanfaatan sumber daya alam demi mencegah dampak merugikan bagi masyarakat dan generasi mendatang.
Langkah Hukum terhadap Penambang Nikel Raja Ampat
Sebelumnya, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) telah menyiapkan langkah-langkah hukum terhadap empat perusahaan yang menambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menyebutkan bahwa opsi hukum yang disiapkan mencakup tindakan administrasi, pidana, hingga gugatan perdata. “Secara paralel kita juga terus mengumpulkan bukti-bukti melalui kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan,” ujar Dwi dalam keterangan tertulis pada Ahad, 8 Juni 2025.
Perusahaan-perusahaan yang tengah menjadi sorotan atas aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat adalah PT Gag Nikel (PT GN) di Pulau Gag, PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) di Pulau Manuran, PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) di Pulau Kawei, serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) yang beroperasi di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Menurut Dwi, PT GN, PT KSM, dan PT MRP terindikasi melakukan penambangan nikel di kawasan hutan Raja Ampat. Meskipun PT GN dan PT KSM telah mengantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), PT MRP masih dalam tahap eksplorasi dan belum memiliki persyaratan tersebut.
Kemenhut kini tengah mengevaluasi kepatuhan PT GN dan PT KSM. Apabila terbukti adanya pelanggaran, regulator akan menerapkan sanksi administratif berupa teguran, paksaan kepatuhan, pembekuan izin, atau bahkan pencabutan izin. “Kami juga telah menggandeng ahli kehutanan untuk menganalisis kerusakan ekosistem hutan,” tambah Dwi. Terkait PT MRP, Kepala Balai Penegakan Hukum Kehutanan Maluku Papua telah diminta mengumpulkan keterangan dan informasi melalui surat tugas pada 4 Juni 2024. Manajemen PT MRP diharapkan dapat mengklarifikasi dugaan kegiatan penambangan tanpa izin di kawasan hutan pada pekan ini di Pos Penegakan Hukum Dinas Kehutanan Sorong.
Direktur Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan, Ade Triaji Kusumah, memastikan bahwa dua PPKH telah diterbitkan di wilayah Raja Ampat pada tahun 2020 dan 2022. Semua perizinan ini didasarkan pada perizinan sektor pertambangan, termasuk IUP dan Amdal yang berlaku saat itu. “PPKH yang baru dihentikan dan PPKH yang lama dievaluasi dan diawasi secara ketat,” tutur Ade, menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga lingkungan.
Menteri LH: Empat Perusahaan Tambang di Raja Ampat Bisa Kena Pidana
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyatakan bahwa empat perusahaan yang memperoleh IUP di Raja Ampat berpotensi menghadapi sanksi administratif hingga pidana. Hanif mengungkapkan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan segera mengirimkan tim ke Raja Ampat pada pekan ini untuk mendalami pengawasan sekaligus menindaklanjuti keputusan pencabutan IUP.
Dari hasil pengawasan tersebut, KLH akan menentukan langkah lebih lanjut. Ada tiga tindakan yang dapat diterapkan, yakni sanksi administrasi pemerintah, penyelesaian sengketa lingkungan hidup, atau pengajuan gugatan pidana. “Ada yang memang potensi ke sana karena ada beberapa kegiatan yang dilakukan di luar norma. Ini ada potensi pidana terkait kegiatan pertambangan yang telah dilakukan,” kata Hanif usai rapat dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa, 10 Juni 2025. Hanif juga menekankan bahwa pencabutan IUP harus disertai dengan upaya pemulihan lingkungan yang akan dilaksanakan bersama oleh KLH dan Kementerian ESDM.
Bareskrim Polri Usut Dugaan Kerusakan Lingkungan di Raja Ampat
Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri turut menyelidiki dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat. “Kami masih dalam penyelidikan,” kata Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Nunung Syaifuddin, di Gedung Bareskrim pada Rabu, 11 Juni 2025.
Nunung masih irit bicara mengenai perkembangan penyelidikan, namun ia menjelaskan bahwa penyelidikan ini bermula dari temuan polisi terkait kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat. “Ya (dari) temuan saja,” ujarnya singkat. Ia menegaskan bahwa kepolisian memiliki kewenangan penuh untuk menyelidiki dugaan tindak pidana terkait persoalan kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Saat ini, fokus penyelidikan kepolisian tertuju pada empat perusahaan yang IUP-nya telah dicabut pemerintah.
Nandito Putra, Hammam Izzuddin, M. Faiz Zaki, Eka Yudha Saputra, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kata DPR Ihwal Mendagri Izinkan Pemda Rapat di Hotel
Ringkasan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan pencabutan empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada 10 Juni 2025. Perusahaan yang dicabut IUP-nya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Nurham, sementara PT Gag Nikel diizinkan beroperasi. Keputusan ini diambil menyusul sorotan publik dan organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia terkait aktivitas tambang nikel yang merusak lebih dari 500 hektare hutan dan mengancam terumbu karang. Kegiatan tambang tersebut juga dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pencabutan IUP disambut baik oleh anggota DPR yang mendesak adanya penegakan hukum lebih lanjut terhadap kasus ini, mengingat nilai ekologis Raja Ampat. Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup telah menyiapkan langkah-langkah hukum, termasuk sanksi administrasi, gugatan perdata, hingga pidana, terhadap perusahaan-perusahaan yang terindikasi melakukan penambangan tanpa izin di kawasan hutan atau di luar norma. Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri juga turut menyelidiki dugaan tindak pidana terkait kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel ilegal tersebut. Pemerintah menekankan komitmen untuk menjaga lingkungan dan melakukan pemulihan pasca-pencabutan izin.